Sabtu, 03 Juli 2010

Perbedaan perspektif Barat dan Timur dalam konsep “Promosi Diri”


Di Barat, orang yang mengampanyekan kelebihan-kelebihan dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (eksistensi diri), dianggap wajar bahkan dianjurkan. Selain agar lebih dikenal, sikap ini juga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Karena itu, tak heran, para tokoh-tokoh politik misalnya seperti di Amerika, tanpa ragu-ragu aktif mengampanyekan diri, menunjukkan kelebihan-kelebihannya, bahkan acapkali menunjukkan kelemahan lawan, menutupi kekurangan diri, dan pada akhirnya dipilih oleh sebagian besar rakyat. Semakin percaya diri dengan kelebihan-kelebihannya, semakin dianggap mampu dan dapat diandalkan. Hal ini juga bisa terjadi di kalangan swasta, atau pada kelompok-kelompok pergaulan kecil, misalnya di kalangan remaja, mahasiswa, dan lain-lain. Menunjukkan kelebihan diri merupakan suatu keharusan untuk memperoleh eksistensi diri dan kepercayaan diri.
Berbeda dengan di Timur. Tindakan memromosikan atau mengampanyekan diri dianggap tidak patut. Orang itu akan dianggap sombong, ambisius, dan pada akhirnya dijauhi. Kita bisa melihat contoh pada pemilihan umum lalu, di mana Amien Rais yang berani mencalonkan diri, bersuara vokal dan hadir di mana-mana untuk menunjukkan kemampuan dan kapasitas dirinya sebagai calon presiden, ternyata banyak mendapat cemoohan karena dianggap sombong dan tidak mengerti budaya Timur yang ‘penuh sopan-santun’. Karena itu, tak heran budaya politik kita adalah budaya politik ewuh pakewuh. Sang pemimpin biasanya dianggap tidak pantas untuk mencalonkan diri, tetapi lebih pantas kalau dicalonkan. Maka yang terjadi adalah ‘rekayasa dicalonkan’. Mengumpulkan konstituen partai, lalu bersepakat meminta restu untuk bersedia dicalonkan, dan jawaban sang ketua/calon presiden sangat klise, “Ya, kalau memang rakyat meminta dan membutuhkan, saya bersedia.” Padahal yang sebenarnya adalah keinginannya sendiri.
Di dunia swasta pun demikian. Jika di film-film Barat kita terbiasa melihat bagaimana calon karyawan begitu meyakinkan memromosikan kelebihan-kelebihan dan kemampuannya pada saat interview dan kemudian mendapat salam selamat bergabung dari pewawancara, di kehidupan kita sehari-hari kadang yang terjadi sebaliknya. Kita malah dianggap high profile dan meragukan. Sehingga, tak heran, para calon karyawan biasanya harus cukup berhati-hati dalam ‘menjual diri’ di hadapan pewawancara agar tidak terkesan sombong dan terlalu percaya diri.
Terlebih dalam pergaulan sehari-hari. Kita terbiasa untuk bersikap ‘munafik’. Sebenarnya ingin dikenal, tapi karena takut dicap sombong akhirnya menggunakan orang lain atau menunggu orang lain mengenal dan mengetahui kelebihan kita pelan-pelan dengan cara ‘menonjolkan diri’ secara diam-diam, misalnya memanfaatkan situasi ketika orang lain sedang membutuhkan, melakukan pembunuhan karakter ‘lawan politik’ dengan memunculkan isu lawan yang high profile bersamaan dengan memunculkan sikap kita yang low profile untuk menarik simpati, atau memanfaatkan rasa kasihan orang lain terhadap kemalangan kita.
Hal ini memberikan gambaran bahwa strategi public relation antara Barat dan Timur pun seharusnya berbeda, karena ternyata dalam memandang suatu sikap dan tindakan promosi diri pun berbeda. (BSW)

Oh Bama! It’s So Hillary-ious…

Oh Bama! It’s So Hillary-ious..
Oleh: Bambang Sukma Wijaya
Apa yang menarik dari pemilihan presiden Amerika Serikat kali ini? Tak lain adalah dua kandidat dari Partai Demokrat yang bersaing yakni, Barack Obama (46) dan Hillary Clinton (60). Bukan karena Partai Demokrat cenderung berada di atas angin setelah presiden berkuasa saat ini yang berasal dari Partai Republik, George W Bush dianggap gagal membawa negaranya ke arah kemajuan bahkan merusak citra negara adidaya tersebut di mata dunia, namun karena kedua kandidat unggulan Partai Demokrat itu akan menjadi ujian demokrasi terbesar sepanjang segala abad bagi negeri yang dikenal sebagai panglima demokrasi dunia tersebut.

Hitamnya Amerika

Barack Hussein Obama, Jr akan menjadi presiden kulit hitam pertama di AS. Kulit hitam? Ya, Amerika dipimpin oleh seorang kulit hitam memang sesuatu yang janggal. Sebagai ras minoritas yang hidup di bawah dominasi ras kaukasian kulit putih, kaum kulit hitam tentu berada di lapis ke sekian. Walaupun, dalam beberapa bidang, banyak tokoh Amerika dari kaum kulit hitam, seperti Martin Luther King dan Malcolm X. Jagad hiburan dan olahraga juga banyak mencatat prestasi kaum kulit hitam seperti Muhammad Ali, Denzel Washington, Will Smith, Bill Crosby, Opray Winfrey yang sebagian di antaranya bahkan menjadi legendaris.
Namun, siapkah Amerika dipimpin oleh seorang Presiden berkulit hitam?
Sejarah mencatat, Amerika kerap diwarnai kerusuhan rasial. Dan umumnya dipicu oleh arogansi superioritas dominasi kaum kulit putih. Pada tahun 1917 misalnya. Terjadi kerusuhan rasial di East St. Louis. Lalu berturut-turut pada tahun 1919 di Chicago dan Knoxville, Tenn, tahun 1921 di Tulsa, tahun 1965 kerusuhan Watts di Los Angeles, tahun 1966 kerusuhan Hough di Cleveland, tahun 1967 kerusuhan 12th Street di Detroit dan kerusuhan di Newark, tahun 1968 terjadi kerusuhan di seluruh penjuru negeri setelah pembunuhan Martin Luther King Jr, tahun 1971 kembali terjadi kerusuhan di Camden, N.J., tahun 1980 di Chattanooga, Tenn, tahun 1992 kerusuhan di Los Angeles, dan tahun 2001 terjadi kerusuhan di Cincinnati.
Berbagai kerusuhan rasial yang mewarnai sejarah Amerika tersebut mensinyalkan bahwa tidak mudah bagi warga kulit berwarna untuk mendapatkan privilege seistimewa warga kulit putih, apalagi untuk menjadi pemimpin nomor satu di negeri sejuta selebritis tersebut.

Femininnya Amerika

Apa yang terpikir di benak Anda ketika mendengar Amerika yang superpower, superego, supermacho dan superarogan itu dipimpin oleh seorang wanita? Hillary Diane Rodham Clinton akan menjadi presiden wanita pertama di AS.
Untuk ukuran negara ‘panglima’ demokrasi, sungguh Amerika merupakan negara ‘terbelakang’ dalam hal ‘mempersilakan wanita’ sebagai pemimpin sebuah negara. Negara ini kalah jauh dari negara-negara berkembang atau miskin seperti Bangladesh, Pakistan, India, Indonesia, Filipina, dan lain-lain. Meskipun beberapa pos penting mulai diduduki perempuan seperti jabatan menteri luar negeri, namun untuk jadi penguasa gedung putih, negara ini seperti masih ‘enggan’ dipimpin oleh seorang wanita. Bahkan untuk jabatan orang kedua, yakni wakil presiden sekalipun.
Padahal, seperti diketahui, meskipun tidak lahir dari negara ini, gerakan feminisme justru mendapat lahan subur di negeri ini ketika tahun 1967 terbentuk Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama. Dari sini kemudian muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib”. Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang mereka anggap sebagai “pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan”. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia. Berbagai aliran bermunculan. Selain feminisme radikal, ada feminisme liberal, feminisme post modern, feminisme anarkis, feminisme marxis, feminisme kapitalis, feminisme sosialis, feminisme postkolonial, dan lain-lain.
Namun, menjadi presiden wanita Amerika Serikat tetap merupakan suatu hal yang tidak semudah berkembang-suburnya gerakan feminisme. Stigma dominasi pria masih cukup kuat dalam budaya negeri Paman Sam tersebut. Hitunglah berapa banyak anggota senat wanita dibandingkan anggota senat pria. Hitunglah berapa banyak menteri-menteri dan pejabat negara wanita dibandingkan pejabat pria. Hitunglah berapa banyak hero wanita yang digambarkan dalam film-film produksi Hollywood dibandingkan hero atau jagoan pria.
Karena itu, menjadi presiden wanita pertama Amerika Serikat? Bukan saja sebuah prestasi dan terobosan baru, namun juga merupakan sebuah keberanian yang luar biasa. Mampukah Hillary mengembannya?

Obama vs Hillary
Meskipun keduanya berasal dari partai yang sama, namun dari kampanye-kampanyenya terlihat jelas perbedaan antara Obama dan Hillary dalam menerapkan strategi menjaring pemilih.
Obama lebih menyasar kaum muda, kulit hitam dan para pria kulit putih dari kalangan intelektual perguruan tinggi (college-educated white men). Tema perubahan dengan slogan “CHANGE We Can Believe In” dalam kampanye-kampanyenya sangat kental merasuk kaum muda dan moderat yang sudah merasa sangat jenuh dengan kepemimpinan presiden saat ini George W. Bush dari Partai Republik.
Obama juga dinilai memiliki kompetensi, wawasan dan pengalaman yang lebih baik dengan negara-negara lain terutama dunia ketiga, mengingat latar belakangnya yang sangat berwarna. “Itu artinya dia punya sensitivitas lebih akan dunia luas daripada orang yang tinggal di AS selama hidupnya,” kata Robert Lamont (53) pekerja USAID di Jakarta seperti dikutip kantor berita AFP, Selasa (5/2/2008). Dengan sensitivitasnya tersebut, Obama diperkirakan bakal menghindari jejak uniteralisme Bush yang sangat dibenci warga dunia.
Harapan besar dipikulkan ke pundaknya untuk mengembalikan kehormatan Amerika di mata dunia setelah diporandakan oleh Bush. Ia ingin merangkul seluruh rakyat Amerika tanpa pandang bulu, memberi harapan akan kemajuan bangsanya. Tak heran ia dijuluki John F. Kennedy muda dan penerus Martin Luther King, Jr. “Persatuan adalah kebutuhan kita yang paling utama,” kutipnya atas sebuah ucapan King. “Kita tidak akan berhasil membangun diri kita dengan cara menjatuhkan satu sama lain. Kita tidak akan berhasil berjalan dalam kebohongan atau ketakutan atau kebencian. Itu adalah racun yang harus kita bersihkan dari politik kita, dinding yang harus kita robohkan sebelum terlambat,” kata Obama dalam sebuah kampanyenya di South Carolina.
Sementara Hillary menyasar pemilih kulit putih, kelas menengah, wanita dan orang tua. Beberapa kali Hillary menyindir Obama bahwa perubahan tanpa solusi nyata tak ada artinya. Karena itu ia telah menyiapkan sejumlah program untuk kesejahteraan masyarakat seperti program asuransi kesehatan untuk semua, dan perbaikan ekonomi nasional. “Gerakan hak asasi manusia adalah tentang keadilan ekonomi,” tegasnya dalam sebuah kampanyenya di Harlem, New York. Terlihat bahwa apa yang ditawarkan oleh Hillary bersifat domestik yang merupakan concern khas kaum wanita dan ibu rumah tangga.
Bila dipetakan, maka strategi Obama dan Hillary adalah sebagai berikut:
positioning1.jpg
Dari peta di atas, tergambar bahwa segmen pemilih Obama ‘potensial’ mendasarkan pilihannya atas pertimbangan rasional, sedangkan Hillary berpotensi pada pertimbangan emosional. Beberapa indikatornya adalah sebagai berikut:
1. Kaum muda (terutama di negara maju seperti AS) kebanyakan adalah kaum terpelajar, di mana selaput-selaput sentimen rasialisme dan etnisisme tampak kurang menonjol. Mereka juga, cenderung lebih berani dan kritis terhadap keadaan yang menimpa negara mereka. Semangat kebersamaan yang tinggi tanpa memandang ras, membuat mereka sangat mudah tertarik pada isu-isu perubahan yang krusial dan menyentuh harga diri mereka sebagai warga bangsa masa depan. Tak heran, mereka dengan cepat terpesona dan tertular oleh semangat perubahan dan harga diri bangsa yang dipancarkan oleh Obama.
2. Kaum wanita memilih wanita tentu lebih berat pada pertimbangan emosional. Demikian pula orang-orang tua yang mendambakan kenyamanan hidup di hari tua, akan memilih calon pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan daripada isu-isu semangat harga diri bangsa atau isu-isu perubahan yang lebih bersifat politis.
3. Meskipun kedua kubu menyemburatkan aura sentimen rasial, namun segmen pemilih Obama sebagian adalah justru datang dari kaum kulit putih pria berpendidikan tinggi. Hal ini semakin menegaskan ‘kerasionalan’ segmen pemilih Obama, ketimbang Hillary yang hampir seratus persen didominasi hanya oleh kaum kulit putih.
Sementara itu, dari platform dan positioning kandidat, terlihat bahwa gender memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Isu-isu yang ditawarkan Obama ‘sangat laki-laki’, sedangkan yang ditawarkan Hillary ‘sangat perempuan’. Tak heran, sebagian pemilih pria kulit putih cenderung memilih dan ‘lebih percaya’ Obama ketimbang Hillary, meskipun Obama berkulit hitam (campuran). Dalam hal ini, sentimen ras rupanya tidak memiliki pengaruh terhadap pemilihan isu kampanye masing-masing kandidat.
Jika demikian, maka dapat diperkirakan, bahwa bola pertimbangan pemilih akan menggelinding pada isu yang didasarkan pada kegenderan kandidat daripada kesentimenrasan kandidat.
basis-isu.jpg
Obama + Hillary
Jika prediksi di atas benar, dalam arti pemilih tidak lagi mendasarkan pilihannya atas pertimbangan sentimen ras, tapi lebih kepada pertimbangan isu yang ditawarkan, yang dari analisis positioning kandidat tampak bahwa isu-isu Obama ‘sangat laki-laki’ dan isu Hillary ‘sangat perempuan’, maka dapat dipastikan bahwa Obama-lah yang menang.
Dalam hal ini, dengan ‘kelaki-lakian’ isunya yang banyak menyorot pada ‘urusan non-domestik’ rumah tangga negara (perubahan kebijakan luar negeri, kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat kembali reputasi AS di mata dunia), Obama dapat saja menarik simpati banyak kaum kulit putih (pria, wanita, orang tua, anak muda) untuk lebih memilih dirinya ketimbang Hillary yang lebih banyak fokus pada ‘urusan domestik’ rumah tangga negara (kesehatan masyarakat, keadilan ekonomi, dan lain-lain).
Hal ini terbukti dengan ‘kemenangan tak terduga’ Obama pada pemilihan pendahuluan di tiga negara bagian yakni Virginia, Maryland dan Washington DC serta Maine pada Selasa 12/2/2008 yang merupakan basis kulit putih. Banyak pengamat berspekulasi bahwa kemenangan itu disebabkan para pemilih wanita dan orang tua kulit putih mulai menanggalkan keraguan mereka terhadap kapabilitas dan kredibilitas Obama. Namun, sesungguhnya, jika ditilik lebih seksama, untuk negara besar dan adidaya seperti Amerika yang memiliki peranan paling penting di pentas dunia, sudah selayaknya memikirkan isu-isu yang mengangkat peran dan harga diri Amerika di mata dunia seperti yang diusung Obama, ketimbang hanya fokus pada isu-isu ‘urusan rumah tangga’ dalam negeri sebagaimana yang lazim di negara-negara dunia ketiga yang kebanyakan penduduknya berada di bawah garis kemiskinan.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa isu yang membentuk positioning Obama lebih strategis daripada isu yang membentuk positioning Hillary, terutama di mata pemilih yang berjiwa ‘Amerika pemimpin dunia’ dan bukan sekadar ‘Amerika sebuah negara’. Hal ini juga seperti menegaskan hasil polling majalah TIME yang dirilis 8 Februari 2008 lalu yang mengatakan bahwa McCain (kandidat terkuat dari Partai Republik) akan lebih mudah mengalahkan Hillary ketimbang Obama di pemilihan presiden November nanti. Dalam polling tersebut, responden akan memilih Obama 48% dan McCain 41% jika terjadi duel Obama-McCain, sedangkan jika terjadi duel Hillary-McCain maka masing-masing memperoleh dukungan suara sama yakni 46%. Ini berarti McCain lebih susah mengalahkan Obama ketimbang Hillary. Menurut Mark Schulman, CEO Abt SRBI, yang mengadakan polling untuk TIME, kuncinya adalah kaum independen atau swing voter. “Para independen lebih cenderung ke McCain jika dia berhadapan dengan Clinton. Namun mereka lebih cenderung ke Obama jika dia (McCain) melawan Senator Illinois itu,” kata Schulman.
Namun, pemilihan pendahuluan belum berakhir. Jika hasil akhir menunjukkan Clinton (Hillary)-lah yang menang, banyak pengamat berasumsi hal tersebut membuktikan sentimen rasial masih membayangi Amerika. Bagi mereka (para pemilih), presiden perempuan kulit putih lebih baik daripada presiden kulit hitam.
Hal yang menarik adalah jika keduanya bergabung (berpasangan), maka akan menciptakan kekuatan yang luar biasa terutama dalam menghadapi pesaing mereka dari Partai Republik pada November mendatang. Baik Obama maupun Hillary terbukti memiliki pendukung yang kuat, dan masing-masing pun memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi. Apakah itu Obama yang calon Presiden dan Hillary yang menjadi Calon Wakil Presiden atau sebaliknya, tak jadi soal, asalkan mereka menjadi satu paket sebagai calon presiden dan wakil presiden dari Partai Demokrat. Dalam sejarah AS, kemungkinan tersebut bukan tidak pernah terjadi. Pada 1980, Ronald Reagan memasang George H. Bush sebagai calon wakilnya meskipun Bush adalah pesaingnya dalam pemilu pendahuluan Republik. Demikian pula pada 1992, Bill Clinton memilih Al Gore, pesaingnya, menjadi pasangan dari Demokrat.
Baik Obama maupun Hillary, dengan kekuatan basis pemilihnya dari kalangan kulit hitam dan perempuan, diprediksi mampu menarik lebih banyak suara jika berpasangan, meskipun keduanya pun memiliki ‘tugas berat’ mendobrak stigma pemimpin Amerika selama ini yang senantiasa berputar pada lingkaran WASP (White, Anglo Saxon and Protestant), eksekutif dan laki-laki. Keduanya akan membuka lembaran baru sejarah Amerika sebagai presiden kulit hitam pertama atau presiden wanita pertama di negara adidaya tersebut.

Tidak ada komentar: